Kamis, 04 Juni 2009

tafsir SPI

NAMA : ELGI RIDHO FIRDAUS

KELAS : 2B

JURUSAN : PAI

NO NIM : 108011000056

TAHUN AJARAN : 2008

MATA KULIAH : Sej. Peradaban Islam

(Pak Budi Ini tugas Saya Yang terbaru tolong diperiksa kembali)


  • PENGASUHAN NABI MUHAMMAD SAW.

  1. Surat Ad-Dhuha ayat 6, juz 30

    

Artinya : Bukankah dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu dia melindungimu?

Tafsiran kitab al-Azhar Buya Hamka. Hal 190

Ini adalah bujukan tuhan pada Muhammad, bahwa Allah akan memberikan karunia kepada beliau sebanyak-banyaknya, sehingga beliau merasa ridha, senang dan gembira. Yang demikian itu adalah karunia yang dijanjikan. Adapun sebelum itu nikmat itu pun telah banyak, banyak sekali. Lalu Tuhan Allah memperingatkan nikmat yang beliau terima sejak beliau kecil. Ayah beliau telah meninggal semasa beliau lagi dalam kandungan ibunya 2 bulan. Setelah dia lahir kedunia, sejak dari penjagaan ibu yang menyusukan beliau di desa Bani Sa’ad, yang bernama Halimatus Sa’diyah, sampai pulangnya ke Mekkah dalam usia 4 tahun, sampai dalam pemeliharaan neneknya Abdul Muthalib, sampai pula kepada sambutan pemeliharaan Abu Thalib saudara ayahnya, jelas sekali pada semuanya itu bahwa beliau tidak pernah lepas dari pemeliharaan dan pengasuhan Allah,

Tafsiran Kitab Al-Misbah karya Quraisy Syihab. Volume 15, Hal 334-336

Untuk lebih meyakinkan semua pihak tentang kebenaran dan kepastian janji Allah yang disebut oleh ayat-ayat yang lalu, ayat-ayat di atas menguraikan sedikit dari anugerah Allah yang telah dilimplahkanNya kepada Nabi Muhammad saw. Allah berfirman: Bukankah Dia mendapatimu sebagai orang yatim yang membutuhkan perlindungan, lalu Dia melindungimu dengan menyerahkan engkau kepada kakek dan pamanmu?.

Kata () yatim berasal dari kata () yutm yang berarti tersendiri. Permata yang unik, yang tak ada tandingannya dinamai () ad-durrah al-yatimah. Atas dasar ini sementara ulama memahami kata yatim pada ayat ini, sebagai seorang yang unik, tersendiri dalam keistimewaannya. Menurut mereka Nabi Muhammad saw. Sejak kecil telah memiliki keistimewaannya yang unik sehingga wajar jika beliau dinamai Yatim. Ayat di atas menurut mereka bagaikan menyatakan : Bukankah Allah menemuimu dalam keadaan tersendiri, lalu Dia menghimpun manusia di sekelilingmu untuk berkumpul dan bertumpu padamu.

Pendapat ini jelas sekali tidak sejalan dengan penggunaan al-Qur’an terhadap kata yatim, yang terulang sebanyak 23 kali dalam berbagai bentuknya. Al-Qur’an al-Karim menggunakan kata ini dalam konteks kemiskinan dan kepapaan. Yatim digambarkannya sebagai seseorang yang mengalami penganiayaan, perampasan hartanya dan sebagai seorang yang tidak memperoleh pelayanan yang layak serta penghormatan. Tidak ditemukan satu ayat pun yang menggambarkan yatim dengan gambaran keistimewaan dan keunikan.

Kata () awa terambil dari kata awa yang pada mulanya berarti kembali kerumah atau tempat tinggal. Biasanhya seseorang yang kembali ke tempat tinggalnya akan merasa aman dan terlindungi. Dari sini kata tersebut dipahami dan digunakan oleh al-Qur’an dalam arti “perlindungan yang melahirkan rasa aman dan ketentraman, baik sumbernya adalah Allah swt. Maupun dari makhluk seperti manusia atau lainnya”. Ibn ‘Asyur memahami perlindungan yang dimaksud disini adalah menjadikan beliau mkencapai kesempurnaan dan istiqamah serta pendidikan dan pemeliharaan yang sempurna –padahal biasanya anak-anak yatim tidak memperoleh pendidikan, sehingga mengantarnya menyandang kekurangan-kekurangan.

Perlindungan itu bersumber dari Allah swt, walau sepintas terlihat melalui tangan-tangan manusia. Sejarah menguraikan bahwa ayah Naabi saw. –Abdullah- wafat saat usia beliau dalam kandungan baru dua bulan. Pada usia enam tahun ibu beliau –Aminah- kembali juga ke rahmat Allah sehingga Muhammad saw, dipelihara dan diasuh oleh kakeknya Abdul Muthalib. Dua tahun kemudian sang kakek pun mkeninggal, seterusnya paman beliau Abu Thalib tampil sebagai pengasuh sekaligus pelindung utama beliau hingga dewasa, bahkan hingga diangkat menjadi Nabi.

Sebenarnya silih berganti pengasuh bagi seorang yatim, merupakan penderitaan yang dapat mengakibatkan dampak negative bagi perkembangan jiwa, di sampling factor keyatiman itu sendiri dengan segala dampak negatifnya. Ini belum lagi factor kemiskinan dan kepapaan serta ketiadaan pengetahuan tulis baca.

Namun demikian, keyatiman yang dapat merupakan factor negative bagi perkembangan jiwa dan kepribadian seseorang, sedikit pun tidak memberi dampak negative terhadap Nabi Muhammad saw. Bahkan lebih jauh dapat dikatakan bahwa keyatimannya justru merupakan anugerah yang sangat besar bagi beliau. Sementara pakar menyatakan bahwa pada umumnya yang membentuk kepribadian seseorang adalah ibu, ayah, sekolah atau bacaan dan lingkungannya. Dalam kehidupan Rasulullah saw, tidak satu pun diantara keempat factor diatas yang mempengaruhi atau menyentuh kepribadian beliau. Ini disebabkan oleh perlindungan Allah itu.

Dalam rangka perlinduang itulah maka Allah swt. Membebaskan beliau dari keempat factor tersebut karena Yang Maha Kuasa itu sendiri yang berkehendak untuk membentuk kepribadian Rasul-Nya. “Tuhanku mendidikku sehingga Dia mendidiku dengan sebaik-baiknya. ” Demikian sabda Rasulullah saw. Itulah sebabnya beliau dilahirkan dalam keadaan yatim, bahkan walau ibunya masih hidup hingga beliau berusia enam tahun, namunk beliau pun terbebaskan dari bentuk acuan pendidikan ibu, dengan dibawanya beliau ke pedesaan –jauh dari sang ibu. Selanjutnya guna membebaskan beliau dari acuan bacaan atau sekolah, beliau ditakdirkan tidak pandai membaca dan menulis, dan dalam rangka perlindungan Allah jualah sehingga beliau dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan sebuah masyarakat yang relative sangat terbelakang dibanding dengan masyarakat-masyarakat sekitarnya, seperti Mesir, Romawi, Persia, Cina dan sebagainya. Beliau menggembala domba di pedesaan guna menghindarkan beliau dari pengaruh “kota” Mekah, sehingga dengan demikian tidak satu factor pun dari keempat factor yang disebut di atas berperan dalam pembentukan kepribadian beliau. Itu semua menjadi bukti bahwa sesungguhnya yang melindungi beliau dari pengaruh-pengaruh negative keyatiman adalah Allah swt. Rasulullah saw melalui ayat ini diingatkan betapa besar karunia Tuhan yang telah diperolehnya, dan dengan demikian janji Tuhan tentang masa depan yang cemerlang, serta kebahagiaan dan kepuasan batin benar-benar akan diperoleh.

Tafsiran Kitab Al-Qur’an dan Tafsirnya Milik Depag RI. Jilid 10, Hal 729

Dalam ayat ini Allah mengingatkan nikmat yang pernah diterimanya dengan mengatakan : “Bukankah engkau hai Muhammad seorang anak yatim, tidak mempunyai ayah yang bertanggung jawab atas pendidikanmu, menanggulangi kepentinganmu serta membimbingmu, tetapi Aku telah menjagamu, melindungimu dan membimbingmu serta menjauhkanmu dari dosa-dosa perilaku orang-orang jahiliyah dan keburukan mereka, sehingga engkau memperoleh julukan mereka “Manusia sempurna”

Nabi saw hidup dalam keadaan yatim, karena ayah beliau meninggal dunia sedang beliau masih dalam kandungan ibunda. Ketika beliau lahir Allah memelihara beliau dengan cara menjadikan kakek beliau Abdul Mutalib mengasihi dan menyayanginya sehingga berada dalam asuhan dan bimbingannya sampai dengan wafatnya Abdul Muttalib, sedang umur Nabi ketika itu delapan tahun. Kemudian dengan meninggalnya Abdul Muttalib Nabi menjadi tanggungan paman beliau Abu Talib, berdasarkan wasiat dari Abdul Muttalib. Abu Talib telah mengerahkan semua perhatiannya untuk mengasuh Nabi saw, sehingga beliau meningkat dewasa dan beliau diangkat menjadi Rasul. Setelah Nabi diangkat menjadi Rasul, orang-orang Quraisy memusuhi Nabi dan menyakiti beliau, tetapi Abu Talib terus membela beliau dari semua ancaman orang musyrik hingga Abu Talib wafat.

Dengan wafatnya Abu Talib bangsa Quraisy mendapat peluang untuk mkenyakiti Nabi dengan perantaraan orang-orang jahat di kalangan mereka yang menyebabkan beliau terpaksa hijrah.

Betapa hebatnya penggemblengan Allah dan asuhanNya terhadap Nabi saw. Biasanya keyatiman anak adalah sebab kehancuran akhlak karena tidak ada pengasuh dan pembimbing yang bertanggung jawab. Apalagi suasana dan sikap penduduk Mekkah lebih dari cukup untuk mkenyesatkan Nabi bila beliau cenderung kepada mereka. Dengan demikian jadilah beliau seorang pemuda yang sangat jujur, tidak pernah tidak percaya, tak pernah berdusta dan tidak pernah berlumur dengan dosa orang-orang jahiliah.

  • TANDA-TANDA KENABIAN RASULULLAH SAW.

  1. Surat Al-Imran ayat 44, juz 3

                     

Artinya: Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita ghaib yang kami wahyukan kepada kamu (Ya Muhammad); padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa.

Tafsiran Kitab Al-Misbah karya Quraisy Syihab. Volume 2, Hal 89-91.

Informasi yang dikemukakan kepada Nabi Muhammad saw. di atas, sungguh sangat akurat, tidak dapat diketahui kecuali para pakar dalam bidang ini, padahal Nabi Muhammad saw. Tidak pandai membaca dan menulis, karena itu sebelum melanjutkan uraian tentang bukti keesaan Allah swt, melalui peristiwa-peristiwa luar biasa yang dialami oleh keluarga ‘Imran’ –sebelum melanjutkannya- ayat ini berhenti sejenak untuk mengajak setiap orang merenung bahwa apa yang disampaikan oleh Nab Muhammad saw, pastilah benar adanya karena informasinya bersumber dari Tuhan Yang Maha Mengetahui.

Itulah, yakni peristiwa-peristiwa yang dialami oleh istri ‘Imran’ dan Zakariya serta Maryam as, sebagian dari berita-berita gaib yang Kmi wahyukan kepadamu dari saat kesaat wahai Muhammad. Kini kamu mengetahuinya; padahal engkau wahai Muhammad tidak berada di sisi mereka, yakni bersama mereka. Ayat ini menggunakan kata () ladaihim, yang penulis terjemahkan dengan disisi mereka untuk mengisyaratkan bahwa informasi tersebut tidak terbuka dan hampir tidak diketahui oleh manusia. Sekali lagi Engkau wahai Muhammad tidak berada di sisi mereka ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka untuk mengundi siapa diantara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan engkau tidak berada disisi mereka ketika mereka bersengketa.

Ayat ini tidak merinci bagaiman pengundian itu terjadi. Namun yang jelas para pemimpin rumah-rumah suci itu, semuanya ingin mendapat kehormatan memelihara Maryam, keinginan yang mengantar kepada persengketaan. Untuk menyelesaikan perselisihan mereka sepakat untuk melakukan pengundian. Konon mereka kelaut sambil bersepakat masing-masing menjatuhkan anak panah undian mereka, dan siapa yang anak panahnya tidak tenggelam, maka dialah yang berhak memelihara Maryam. Ternyata anak panah Nabi Zakariyya yang tidak tenggelam, maka disepakatilah beliau untuk tugas terhormat itu. Peristiwa ini disisipkan dalam uraian ini, dalam rangka mkembuktikan kebenaran Nabi Muhammad saw sebagai nabi, atau dengan kata lain utnuk membuktikan bahwa beliau adalah salah seorang yang mendapat informasi yang akurat dari Allah swt, sehingga apa yang sebentar lagi akan beliau sampaikan tentang ‘Isa’as, juga merupakan sesuatu yang bersumber dari Allah Yang Maha Mengetahui itu.

Memang apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw ini, tidak keluar dari tiga kemungkinan. Pertama, beliau baca dari kitab-kitab lama, atau ketika itu beliau berada ditengah-tengah pelaku sejarah itu, atau-dan ini kemungkinan yang ketiga-merupakan informasi Allah swt. Yang pertama mustahil, karena beliau tidak pandai membaca, tidak juga pernah belajar kepada pembaca kitab-kitab suci. Yang kedua pun mustahil, karena kelahiran Maaryam, bahkan putra beliau, yakni ‘Isa’ as jauh sebelum kelahiran Nabi Muhammad saw. Jika demikian, hanya yang ketiga yang masuk akal, dan dengan demikian terbukti bahwa Nabi Muhammad saw adalah utusan Tuhan dan apa yang beliau sampaikan seperti keesaan Allah, dan kedudukan ‘Isa’as sebagai hamba Allah adalah informasi yang benar lagi pasti.

Perhentian sejenak untuk merenung ini, agaknya sengaja di tempatkan pada pembukaan pembicaraan tentang Maryam, untuk menggarisbawahi betapa tinggi kedudukan beliau di sisi Allah swt, sekaligus untuk membuktikan kepada delegasi Kristen Najran bagaimana pandangan Islam tentang beliau dan anaknya, sambil membuktikan kesesatan akidah mereka.

Tafsiran Kitab Al-Qur’an dan Tafsirnya Milik Depag RI. Jilid 1, Hal 570.

Pada ayat ini Allah menutup ceritera itu dengan mengarahkan pembicaraan kepada Nabi Muhammad saw, bahwa cerita itu termasuk cerita yang belum diketahuinya, sedang hal itu sesuai dengan isi Kitab Taurat.

Allah menyatakan dalam ayat ini bahwa apa yang telah dikisahkan yaitu kisah Maryam dan Zakaria adalah dari kisah-kisah yang tidak pernah disaksikan oleh Nabi Muhammad saw, atau keluarganya, dan tidak pula pernah Muhammad membacanya dalam suatu kitab, serta tidak pula diajarkan oleh seorang guru. Itulah wahyu, yang diturunkan Allah kepadanya dengan perantara Ruhul Amin, untuk menjadi bukti atas kebenaran kenabiannya, dan untuk mematahkan hujjah orang yang mengingkarinya.

Kemudian Allah menyatakan pula bahwa Nabi Muhammad saw, belum ada dan tentu saja tidak menyaksikan mereka ketika mengadakan undian itu diantara Zakaria dan lain-lainnya itu untuk menetapkan siapa yang akan mengasuh Maryam.

Nabi Muhammad saw, tidaklah hadir dalam perselisihan mereka unutk mengasuh Maryam. Mereka terpaksa mengadakan undian untuk menyelesaikan perselisihan itu. Mereka yang berselisih itu adalah orang-orang terkemuka yakni para pendeta mereka. Dan perselisihan itu semata-mata didorong oleh keinginan yang besar untuk mengasuh dan memelihara Maryam. Boleh jadi keinginan ini disebabkan karena bapaknya yaitu’Imran adalah pemimpin mereka, sehingga dengan itu mereka mengharapkan akan mendapatkan hadiah dari tugas mengasuh Maryam itu. Dan boleh jadi pula disebabkan mereka mengetahui dalam kitab-kitab agama bahwasanya kelak akan terjadi peristiwa besar bagi Maryam dan puteranya. Atau mungkin disebabikan mereka berpendapat bahwa mengasuh bayi perempuan itu adalah suatu kewajiban agama, karena bayi itu dinazarkan untuk mengabdi kepada Baitul Maqdis.

Ayat ini diletakan sesudah menerangkan kisah tersebut adalah untuk menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw, tidak pernah membaca cerita keluarga Imran (Bani Israel), karena beliau seorang yang ummi. Lagi pula beliau tidak pernah mendengar dari seseorang, sebab beliau juga waktu itu ditengah-tengah orang yang ummi.

Tidak ada jalan bagi Nabi saw, untuk mengetahui seluk beluk cerita ini kecuali dengan jalan menyaksikan dengan mata kepala sendiri, atau dengan jalan wahyu. Menyaksikan dengan mata kepala sendiri adalah suatu hal yang mustahil, karena peristiwa itu terjadi di zaman sebelum lahirnya Nabi Muhammad saw.

Kalau demikian tentulah Nabi Muhammad mengetahuinya dengan jalan wahyu. Para ahli Kitab yang mengingkari al-Qur’an mengatakan bahwa segala isi al-Qur’an yang sesuai dengan isi Kitab mereka itu adalah berasal dari kitab mereka sedang yang bertentangan dengan isi Kitab mereka itu mereka katakana tidak benar. Isi al-Qur’an yang tidak terdapat dalam kitab mereka juga dianggap tidak benar. Sikap demikian itu hanyalah karena sifat sombong dan sifat permusuhan mereka.

Kaum muslimin meyakini, bahwa segala yang diterangkan al-Qur’an adalah benar. Karena cukup dalil-dalil yang membuktikan bahwa Muhammad saw itu adalah seorang nabi, dan ayat al-Qur’an yang bertentangan dengan kitab-kitab yang terdahulu dipandang sebagai koreksi terhadap kesalahan-kesalahan yang terdapat pada kitab-kitab itu karena sudah diubah-ubah atau tidak sesuai lagi dengan kemashlahatan umat.

Tafsiran Kitab Tafsir as-Sa’di. Jilid 1, Hal 492.

Ialah ketika ibunya membawanya kepada kaumnya, lalu mereka berselisih siapakah diantara mereka yang akan memelihara Maryam? Kaena ia adalah anak wanita pemimpin mereka dan tokoh mereka, sedang mereka semua menginginkan kebaikan dan pahala dari Allah swt, hingga terjadilah perselisihan yang sengit, yang akhirnya mereka harus mengadakan undian atasnya, lalu mereka melemparkan anak-anak panah mereka seraya mengundi dan ternyata undian itu jatuh pada Zakaria sebagai suatu rahmat dari Allah untuknya dan untuk anak wanita Imran tersebut.

Maka engkau wahai –Rasul-tidak hadir saat itu hingga engkau mengetahuinya dan menceritakannya kepada manusia akan tetapi Allah yang mengabarkan kepadamu tentang cerita tersebut. Inilah maksud terbesar dari adanya cerita-cerita dalam al-Qur’an yaitu bahwasanya ia menjadi pelajaran bagi manusia. Dan pelajaran yang paling agung adalah berdalil dengannya aas tauhid, kerasulan, kebangkitan kembali, dari pokok-pokok agama lainnya. Kisah ini dan kisah –kisah lainnya merupakan dalil yang paling besar atas kerasulan Muhammad saw dimana beliau mengabarkan tentang kisah tersebut cecara terperinci lagi autentik yang tidak ada penambahan maupun pengurangan padanya. Semua itu karena ia merupakan wahyu dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha bijaksana, dan bukan belajar dari manusia.

Tafsiran Kitab Tafsir Fizhilail Qur’an. Jilid 2, Hal 68-69.

Pada potongan kisah ini dan sebelum diungkapkannya peristiwa yang besar, maka ayat ini mengisyaratkan hikmah dikemukakannya kisah-kisah itu, yaitu untuk menetapkan adanya wahyu, yang memberitahukan kepada Nabi Muhammad saw, tentang peristiwa yang gaib yang beliau tidak hadir disana pada waktu itu. Ini adalah isyarat kepada berlombanya para pengurus Haikal untuk memelihara Maryam, ketika ia dibawa oleh ibunya ke Haikal, demi memenuhi nazar dan janjinya kepada Tuhannya. Nash ini juga mengisyaratkan kepada suatu peristiwa yang tidak disebutkan oleh “Perjanjian Lama” dan “Perjanjian Baru”. Namun, peristiwa itu sudah popular dikalangan pendeta dan rahib-rahib, yaitu peristiwa melemparkan qalam “pena” para pengurus Haikal, untuk mengetahui siapa yang akan memelihara Maryam. Nash al-Qur’an sendiri tidak menjelaskan peristiwa ini. Boleh jadi karena berpijak pada keadaan bahwa masalah ini sudah popular dikalangan pendengarnya, atau karena al-Qur’an tidak hendak menambah sesuatu melebihi hakikat yang hendak disampaikannya kepada generasi mendatang. Oleh karena itu kita memahami bahwa mereka (para pengurus Haikal) telah bersepakat menempuh suatu cara khusus -dengan melemparkan pena- untuk mengeahui siapa yang berwenang memelihara Maryam, yaitu dengan melakukan semacam undian. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa mereka sepakat melemparkan pena mereka ke sungai Yordan. Kemudian lenyaplah pena-pena itu mengikuti arus sungai, kecuali pena Zakaria saja yang masih tetap. Inilah yang menjadi tanda bahwa Zakarialah yang berwenang memelihara Maryam. Maka mereka serahkan Maryam padanya. Semua itu merupakan perkara gaib yang Nabi Muhammad saw tidak hadir disana dan belum mengetahuinya. Barangkali dirahasiakannya Haikal yang tidak boleh dipopulerkan dan disebarluaskan, kemudian diungkapkan oleh al-Qur’ran dalam menghadapi para pemkbesar Ahli Kitab pada waktunya. Itu menunjukan adanya wahyu dari Allah kepada rasulnya yang jujur. Tidak ada keterangan bahwa mereka menolak hujjah ini. Seandainya masalah ini dapat dibantah, sudah tentu mereka membantahnya, karena memang mereka suka membantah.

  1. Surat Al-’Araf ayat 157-158, juz 9

                                                                               

Artinya: (yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka[xx]. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung.

Artinya: Katakanlah: "Hai manusia Sesungguhnya Aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan, Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah Dia, supaya kamu mendapat petunjuk".

[xx] Maksudnya: dalam syari'at yang dibawa oleh Muhammad itu tidak ada lagi beban-beban yang berat yang dipikulkan kepada Bani Israil. Umpamanya: mensyari'atkan membunuh diri untuk sahnya taubat, mewajibkan kisas pada pembunuhan baik yang disengaja atau tidak tanpa membolehkan membayar diat, memotong anggota badan yang melakukan kesalahan, membuang atau menggunting kain yang kena najis.

Tafsiran Kitab Al-Qur’an dan Tafsirnya Milik Depag RI. Jilid 3, Hal 611-619.

Dalam ayat ini Allah swt menerangkan sifat-sifat Muhammad Rasul dan Nabi Allah yang wajib diikuti itu ialah:

  1. Nabi yang ummi (buta huruf)

Dalam ayat ini diterangkan bahwa salah satu sifat Muhammad saw ialah tidak pandai menulis dan membaca. Sifat ini member pengertian bahwa seorang yang ummi tidak mungkin membaca Taurat dan Injil yang ada pada orang-orang Yahudi dan Nasrani, demikian pula cerita-cerita kuno yang berhubungan dengan umat-umat dahulu. Hal ini membuktikan bahwa risalah yang dibawa oleh Muhammad saw itu benar-benar berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Mustahil seseorang yang tidak tahu ulis baca dapat membuat dan membaca al-Qur’an dan Hadist yang memuat hokum-hukum, ketentuan-ketentuan ilmu pengetahuan yang demikian tinggi nilainya. Seandainya al-Qur’an itu buatan Muhammad, bukan berasal dari Tuhan Semesta Alam tentulah manusia dapat membuat atau menirunya, tetapi sampai saat ini belum ada seorang manusiapun yang sanggup menandinginya dan tak akan bisa.

  1. Kedatangannya telah diisyaratkan di dalam kitab Taurat dan Injil

Kedatangan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul penutup telah diisyaratkan di dalam kitab Taurat dan Injil, bahkan Allah swt menegaskan dalam firmanNya :

               

146. Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang Telah kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil) mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri[xx]. dan Sesungguhnya sebahagian diantara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka Mengetahui.

[xx] mengenal Muhammad s.a.w. yaitu mengenal sifat-sifatnya sebagai yang tersebut dalam Taurat dan Injil.

Menurut ayat ini, orang-orang Yahudi Nasrani telalh menyembunyikan pemberitaan tentang akan diutusnya Muhammad saw dengan menghapus pemberitaan ini dan menggantinya dengan yang lain di dalam kitab Taurat dan Injil. Banyak ayat al-Qur’an yang menerangkan tindakan-tindakan orang-orang Yahudi dan Nasrani itu.

Sekalipun demikian masih terdapat ayat-ayat Taurat (Wasiat Yang Lama) dan Perjanjian Yang Baru mengisyaratkan akan kedatangan Muhammad itu. Dalam kitab Kejadian 21:13 diterangkan bahwa akan dating seorang Nabi akhir zaman nanti dari keturunan Ismail.

Daari ayat Taurat ada beberapa isyarat yang dapat dijadikan dalil untuk menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw itu adlah seorang Nabi di antara segala saudaranya. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang yang dinobatkan oleh Tuhan itu akan timbul dari saudara-saudara Banil Israil itu sendiri. Adapun saudara-saudara Bani Israil itu ialah Bani Ismail (bangsa Arab). sebabIsmail adalah saudaranya yang tua dari Ishak bapak Nabi Ya’kub. Dan nabi Muhammad saw sudah jelas adalah keturunan Banil Ismail.

Kemudian Kalnest: “Yang seperti engkau” memberikan arti gahwa Nabi yang akan dating haruslah seperti Nabi Musa as yaitu Nabi yang membawa syari’at yang baru (agama Islam) yang juga berlaku unutk gbangsa Israil. Kemudian diterangkan lagi bahwa Nabi itu tidak sombong, baik sebelum menjadi Nabi. Sebelum menjadi Nabi beliau sudah disenangi orang, terbukti dengan pemberian gelar oleh orang Arab kepadanya yaitu: “Al-Amin” yang artinya “orang yang dipercaya”. Jika beliau seorang yang sombong, tentu beliau tidak akan diberi gelar yang amat terpuji itu. Setelah menjadi Nabi beliau lebih ramah dan rendah hati.

Umat Nasrani menyesuaikan nubuat itu kepada Nabgi Isa as di samping mereka mengakui bahwa Isa as mati terbunuh (disalib). Hal ini jelas bertentangan dengan ayat nubuat itu sendiri. Sebab nabi itu haruslah tidak mati terbunuh. Disebutkan pula bahwa Tuhan telah datang dari Tursina, maksudnya memberikan wahyu kepada Musa as dan telah terbit bagi mereka itu di Seir. Maksudnya menurunkan kepada Nabi Isa as wahyu, serta gemerlapan cahayanya dari gunung Paran, maksudnya menurunkan wahyu kepada Muhammad saw Paran (Faroh) adalah nama salah satu bukit di negeri Mekah.

Dalam Bab XV Injil Yohanna disebutkan Nubuat Nabi Muhammad saw sebagai berikut: “Maka adapun apabila telah datang Faraklit, yang Aku telah mengutusnya kepadamu daari bapak, roh yang benar yang berasal dari bapak, maka dia menjadi saksi bagiku, sedangkan kamu menjadi saksi sejak semula. Perkataan “Faraklit” adalah bahasa Ibrani, yang artinya sama dengan “Ahmad” dalam bahasa Arab. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt :

                         

6. Dan (Ingatlah) ketika Isa ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, Sesungguhnya Aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan Kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad)."

Demikianlah sekalipun ada bagian Taurat dan Injil yang diubah, ditambah, dan dihilangkan, juga masih terdapat isyarat-isyarat tentang kenabian dan kerasulan Muhammad saw. Itu pulalah sebabnya sebagian ulama Yahudi dan Ibrani yang mengakui kebenaran berita itu segera beriman kepada Muhammad dan risalah yang dibawanya, seperti Abdullah Ibnu Salam, Tamin Ad-Dari, dan lain sebagainya.

  1. Nabi itu menyuruh berbuat ma’ruf dan melarang berbuat mungkar.

Perbuatan yang ma’ruf ialah perbuatan yang baik, yang sesuai dengan akal sehat, dan membersihkan jiwa, bermanfaat bagi diri sendiri, manusia dan kemanusian. Sedangkan perbuatan yang mungkar ialah perbuatan yang buruk, yang tidak sesuai dengan akal yanmg sehat, dan dapat menimbulkan mudarat bagi diri sendiri,bagi manusia dan kemanusiaan. Perbuatan ma’ruf yang paling tinggi nilainya ialah mengakui ke Esaan Allah, dan menunjukkan ketaatan kepadaNya, sedang perbuatan mungkar yang tinggi sekali tingkatannya ialah memperserikatkan Allah SWT.

  1. Menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang buruk.

Yangdimaksud dengan yan baik ialah yang halal lagi baik, tidak merusak akal, pikiran, jasmani dan rohani. Sedangkan yang dimaksud degnan yang jelek ialah yang haram, yan merusak akal, pikiran, jasmani dan rohani.

  1. Menghilangkan beban-beban dan belenggu-belenggu yang memberatkan.

Maksudnya ialah dengan syaria’t yang dibawa Nabi Muhammad saw tidak ada lagi beban yang berat seperti yang dipikulkan kepada Bani Israil. Umpamanya mensyari’atkan membunuh diri untuk sahnya taubat, mewajibkan qisas pada pembunuhan, baik yang disengaja ataupun yang tidak disengaja, tanpa membolehkan membayar diyat, memotong badan yang melakukan kesalahan, membuang atau menggunting kain yang terkena najis, dan sebagainya. Sesuai dengan firman Allah swt: al-Maidah ayat 6

                

Artinya: Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.

Demikian juga Rasulullah saw bersabda : “Berilah kabar gembira dan janganlah memberikan kabar yang menakut-nakuti, mudahkanlah dan jangan mempersukar, bersatulah dan jangan berselisih.” (H.R. Bukhori dan Muslim)

Sesungguhnya kepada Bani Israil telah diisyaratkan hokum-hukum yang berat, baik hokum ibadat, maupun hokum muamalat. Kemudian kepada Nabi Isa as disyari’atkan hokum ibadat yang berat. Sedang syari’at Nabi Muhammad saw, sifatnya tidak memberatkan, tetapi melapangkan dan memperingan tanggungan, baik yang berhubungan dengan hokum-hukum ibadat maupun yang berhubungan dengan hokum-hukum muamalat.

Kemudian Allah SWT menerangkan cara-cara mengikuti Rasul yang disebutkan cirri-cirinya diatas, agar berbahagia hidup di dunia dan di akhirat nanti, ialah beriman kepadanya dan kepada risalah yang diabawanya, menolongnya dengan rasa penuh hormat, menegakkan dan meninggikan agama yang dibawanya, mengikuti al-Qur’an yang dibawanya yang merupakan sinar terang benderang, menyinari jalan-jalan untuk menuju kebahagiaan dunia dan akhirat.

  1. Nabi Muhammad saw diutus kepada seluruh umat manusia

Pada ayat 158 dari surat ini diterangkan tentang keumuman risalah yang dibawa Nabi Muhammad saw, yaitu agama yang berlaku seluruh umat manusia didunia, tidak seperti risalah-risalah Rasul yang sebelumnya yang hanya khusus untuk sesuatu umat saja. Dan beliau mengajak seluruh umat manusia agar mengikuti agama tersebut.

Allah swt memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw, agar ia menyeru seluruh umat manusia mengikuti agama yang dibawanya, biarpun dimana saja mereka berada, dan bangsa apapun dia, agar menerangkan bahwa dia adalah Rasul Allah yang diutus kepada mereka semua. Keumuman risalah Muhammad saw dinyatakan lagi oleh firman Allah swt : 34:28, 6:19

            

Artinya: Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.

          

Artinya: Dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan Dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya). ….".




Dan Allah menerangkan keesaanNya, yaitu tidak ada Tuhan selain Dia, hanyalah Dia yang berhak disembah, karena Dialah yang mengurus langit dan bumi, mengatur alam seluruhnya. Dia menghidupkan segala yang hidup dan mematikan segala yang mati. Dalam ayat ini diterangkan bahwa ada tiga sifat Tuhan yang utama : yaitu memiliki seluruh makhluk, mengurus dan mengatur seluruh alam dan yang ketiga ialah berhak disembah.

Mengenai keesaan Allah ada dua bentuk: yaitu Esa dalam menciptakan, memiliki, mengatur semesta alam, tidak ada seorangpun yang berserikat denganNya. Dan Esa dalam ibadat. Hanyalah dia saja yang berhak disembah, hendaklah semua makhlukNya menghambakan diri hanya kepadaNya. Iman kepada Allah merupakan rukun pertama dari kepercayaan, kemudian kepada kerasulan Muhammad saw, dan iman kepada adanya hari berbangkit. Tiga hal ini terkandung dalam perintah Tuhan selanjutnya, yaitu perintah kepada seluruh manusia agar beriman kepada Allah dan beriman kepada Nabi yang ummi, yang mengajarkan al-Qur’an dan hikmah serta membersihkan manusia dari segala unsure syirik dan kebodohan dalam kepercayaan, ia adalah Rasul yang penghabisan yang diisyaratkan oeh kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada para Nabi sebelumnya.

Rasul yang ummi itu memurnikan pengabdian kepada Allah, beriman kepada kitab-kitab yang telah diturunkan kepada para Nabinya yang terdahulu. Setelah perintah beriman, maka Allah mengiringi dengan perintah agar manusia melaksanakan semua syari’at yang dibawa Nabi Muhammad saw.

Tafsiran Kitab Al-Misbah karya Quraisy Syihab. Volume 5, Hal 268-276.

Thahir Ibnu Asyur menilai bahwa ayat ini berhubungan erat dengan ayat yang lalu. Ini adalah penjelasan tentang siapa yang wajar mendapat rahmat Allah. Yaitu mereka yang bertakwa, mengeluarkan zakat dan yang percaya kepada Allah dan rasul –bila rasul itu datang- Bani Israil ketika penyampaian firman ini kepada Nabi Musa as tentu saja belum mengikuti rasul dalam pengertian sebenarnya, namun tulis Ibnu ‘Asyur, mereka harus memiliki tekad untuk mengikuti beliau saat kedatangannya jika mereka mengetahui kedatangannya itu. Karena itu ayat ini buat mereka mengandung berita gembira tentang kedatangan Nabi Muhammad saw yang juga sejalan dengan apa yang termaktub dalam Perjanjian Lama (Ulangan X sampai XIV dan XVIII). Dibawah ini penulis akan kemukakan sekelumit dari yang termaktub itu. Al-Biqa’I berpendapat lain, menurutnya, boleh jadi orang-orang Yahudi pada masa Muhammad saw yang mendenganr ayat-ayat di atas, atau siapapun selain mereka, menduga bahwa mereka termasuk yang akan memperoleh janji Allah di atas. Unuk meluruskan kekeliruan itu ayat ini menegaskan bahwa, bukan kalian yang akan mendapat rahmat itu, tetapi yang akan meraihnya adalah orang-orang yang terus menerus dan tekun mengikuti Nabi Muhammad saw, yang merupakan Rasul Allah, Nabi yang ummi, yang tidak pandai membaca dan menulis yang nama dan sifat-sifatnya mereka ,yakni ulama Yahudi dan Nasrani mendapatinya tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka hingga kini, walaupun sebagian besar telah mereka hapus dan yang ada sekarang hanya secara tersirat.

Setelah menyebut sifat Nabi Muhammad saw sebagai pribadi dan didalam kitab suci, dilanjutkannya penjelasan tentang beliau menyangkut ajarannya yakni bahwa Dia, yakni Nabi Muhammad saw selau menyuruh mereka, yakni orang-orang Yahudi dan Nasrani kepada ma’ruf, yakni memerintahkan untuk mengerjakan dan mengajak kepada kebaikan serta adat istiadat yang diakui baik oleh masyarakt dan mencegah mereka dari yang mungkar yakni mendekati dan mengerjakan apa yang dinilai buruk oleh agama dan adat istiadat.

Setelah menjelaskan secara umum tuntunannya, ayat ini melanjutkan uraiannya tentang salah satu tujuan kedatangan Nabi Muhammad saw yakni sebagai anugerah kepada Bani Israil. Seperti diketahui dalam syari’at mereka terdapat tuntunan yang sangat memberatkan mereka. Nabi Muhammad saw hadir antara lain untuk menghalalkan atas perintah Allah bagi mereka segala yang baik termasuk yang tadinya halal kemudian diharamkan sebagai sanksi atas mereka seperti lemak, dan mengharamkan –juga berdasar perintah Allah- atas mereka segala yang buruk menurut selera manusia normal demikian juga yang mengakibatkan keburukan seperti minuman keras, suap, perjudian dan lain-lain dan meletakkan, yakni menyingkirkan dari mereka eban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Syariat yang diajarkan Nabi Muhammad saw sedemikian meringankan manusia sehingga keadaan darurat atau kebutuhan mendesak yang dialami seseorang dapat mengalihkan keharaman sesuatu menjadi halal. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, yakni yang membenarkan kenabian dan kerasulannya, memuliakannya dengan mencegah siapapun yang bermaksud buruk terhadapnya menolongnya, yakni mendukungnya dalam penyebaran ajaran Islam dan mengikuti cahaya yang terang, yakni tuntunan al-Qur’an yang diturunkan kepadanya, mereka itulah secara khusus orang-orang beruntung, yakni yang meraih keberuntungan sempurna, serta mendapatkan segala apa yang didambakannya.

Kata ()yattabi’una ar-rasula/mengikuti rasul mencakup dua kelompok besar. Pertama adalah siapapun mengikuti beliau secara actual. Ini bagi yang hidup ketika dan setelah masa kerasulan beliau, dan yang kedua adalah yang lahir sebelum masa kenabian beliau. Para Nabi sebelum Nabi Muhammad saw telah diambil janjinya untuk beriman dan mengikuti seandainya mereka hidup bersama Nabi Muhammad saw. Dalam konteks ini (Q.S. Al-Imran :8) menyatakan …

Nabi Muhammad juga bersabda :”Seandainya Musa hidup, dia tidak dapat mngelak dari kewajiban dari mengikutiku” (H.R Ahamad)

Kata () ummi terambil dari kata () umm/ibu dalam artian seorang yang tidak pandai membaca dan menulis. Seakan-akan keadaannya dari segi pengetahuan atau pengetahuan membaca dan menulis sama dengan keadaannya ketika baru dilahirkan oleh ibunya atau sama dengan keadaan ibunya yang tak pandai membaca. Ini karena masyarakat Arab pada masa Jahiliah, dan umumnya tidak pandai membaca dan menulis, lebih-lebih kaum wanitana. Ada juga yang berpendapat bahwa kata Ummi terambil dari kata () ummah yang menunjuk kepada masyarakat ketika turunnya al-Qur’an yang dilukiskan oleh sabda beliau Rasul saw : “Sesungguhnya kita adalah umat yang Ummi, tidak pandai membaca dan berhitung.”

Bahwa Rasul adalah seorang ummi merupakan salah satu bukti kerasulan beliau. Dalam konteks ini menegaskan : (Al-Ankabut:48). Betapa tidak, pasti aka nada yang berkata bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang beliau sampaikan, yang redaksi isinya sangat mengagumkan itu serta mengungkap banyak hal-hal yang tidak dikenal pada masanya adalah hasil bacaan beliau.

Diatas telah dikemukakan pandangan Ibnu ‘Asyur tentang ayat ini. Ulama tersebut menunjuk Perjanjian Lama Ulangan X sampai XIV dan XVIII, sebagai penjelasan tentang ayat itu.

Pada (Ulangan X:120) ditemukan perintah bertakwa “Maka sekaragn hai orang Isra’il apakah yang dimintakan dari padamu oleh Tuhan Allahmu, selain dari takut akan Tuhan, Allahmu, hidup menurut segala jalan yang ditunjukkan-Nya” dan seterusnya sampai dengan Ulangan XIII yang mengandung rincian tentang makna takwa. Selanjutnya pada (Ulangan XIV:22) disebutkan tentang zakat. Yaitu : “Harulah engkau mempersembahkan sepersepuluh dari seluruh benih yang tumbuh di ladangmu tahun demi tahun,dan seterusnya.” Selanjunya pada Ulangan XVIII:18 dinyatakan: “Seorang nabi akanKu bangkitkan bagi merekan dari antara mereka seperti engkau ini. Akau akan menaruh firman Ku dalam mulutnya dan ia akan mengatakan pada mereka segala yang Kuperintahkan kepadanya. Orang yang tidak mendengarkan segala firman Ku yang akan diucapkan oleh Nabi itu demi namaKu darinya akan Ku tuntut pertanggungjawaban.”

Ini salah satu berita gembira tentang kedatangan Nabi Muhammad saw yang termaktub dala Taurat, yang tidak sepenuhnya diputar balikkan redaksinya oleh orang-orang Yahudi.

Teks-teks Perjanjian Lama diatas yang penulis kutip secara harfiah dari Lembaga Al-Kitab Indonesia Jakarta 1998, dimulai dengan perintah bertakwa, mengeluarkan zakat, dan perintah mengikuti nabi. Bandingkanlah teks tersebut dengan ayat 156 dan 157 ini anda akan temukan teks di atas tercakup dalam kedua ayat itu.

Seorang Rahib Yahudi Maroko, Samaul Ibnu Yahya al-Maghrabi, memeluk Islam setelah menyadari bahwa teks Perjanjian Lama itu menunjuk kepada Nabi Muhammad saw. “Nabi Muhammad saw yang ummi itu adalah keturunan Nabi Ismail as, sedang Ismail as adalah saudara Nabi Ya’qub dan inilah yang dimaksud dalam teks diatas –diantara saudara mereka- ‘Teks itu berbunyi’ “saudara mereka” bukan “diantara mereka” Bani Israil itu. Ini membuktikan bahwa nabi yang dimaksud bukan dari Bani Israi’il tapi dari Bani Ismail yang merupakan saudara Bani Israil itu. ” Seandainya Nabi yang dimaksud dari Bani Isra’il tentu redaksinya akan berbunyi “diantara kamu.” Demikian lebih kurang tulis Samuel, sebagaiman dikutip oleh al-Biqa’i.

Selanjutnya teks Perjanjian Lama diatas menyatakan bahwa nabi itu seperti engkau ini, yakni seperti Nabi Musa as. Persamaan dimaksud tentunya pada sifat-sifat khusus atau sifat-sifat yang menonjol, sedang sifat yang paling menonjol pada Nabi Musa as adalah “risalah, kitab dan syariat” yang unik. Tidak seorang nabipun dikalangan Bani Israil sesudah Nabi Musa yang memiliki ciri-ciri seperti itu, walau Isa as. Beliau, yakni Isa al-Masih tidak datang membawa syariat baru tetapi melanjutkan syariat Musa as.

Orang-orang Yahudi menyatakan bahwa nabi yang dimaksud oleh teks Perjanjian Lama itu adalah Samuel. Tetapi pendapat ini tertolak karena Samuel tidak seperti Musa as.

Diatas penulis kemukakan bahwa teks Perjanjian Lama ini tidak sepenuhnya mereka ubah. Memang, sepandai-pandai seorang mengelabui, cepat atau lambat, pasti ulahnya akan dapat ditemukan. Mereka memang menghapus dari teks itu kata “rasul”, dan kata “ummi” agar mereka mengalihkannya dari sifat yang menonjol pada pribadi Nabi Muhammad saw, tetapi mereka tidak sadar bahwa terdapat dalam teks yang telah mereka ubah itu petunjuk-petunjuk yang membuktikan kecurangan mereka serta kebenaran informasi al-Qur’an .

Teks lain dalam Perjanjian Lama yang menunjuk kehadiran Rasul Muhammad saw ditemukan dalam Kitab Ulangan 33:2. Disana dinyatakan bahwa “Tuhan datang dari Sinai dan terbit kepada mereka dari Seir Ia tampak bersinar dari gunung Paran.”

Gunung Paran menurut Perjanjian Lama: Kejadian 21 adalah tempat putra Nabi Ibrahim as, yakni Nabi Ismail as bersama ibunya Hajar as memperoleh air (Zam-Zam). Ini berarti tempat tersebut adalah Mekkah dan dengan demikian yang disebut oleh Kitab Ulangan di atas adalah tiga tempat terpancarnya wahyu Illahi, yaitu Thur Sina tempat Nabi Musa as, Seir tempat Nabi Isa as dan Mekkah tempat Nabi Muhammad saw.

Dalam Injil atau Perjanjian Baru yang beredar dewasa ini ditemukan sekian banyak teks-teksnya yang mengisyaratkan Nabi Muhammad saw. Misalnya dalam (Yohanes XIV:16) “Aku akan minta kepada Bapa dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain supaya ia menyertai kamu selama-lamanya, yaitu Roh Kebenaran….”, demikian juga (Yesanya XXI: 13-171) yang teksnya diberi judul Ucapan Ilahi tehadap Arabia. Disebut di sana kafilah orang-orang Dedan yang menurut sebagian pakar adalah nama salah lseorang leluhur Nabi Muhammad saw, sebagaiman disebut juga “penduduk tanah Tema” yang merupakan wilayah suku Bani Tamim. Dan masih banyak teks-teks yang lain.

Kata () ath-thayyibat adalah jamak () ath-thayyib, yakni baik. Yang dimaksud disini adalah makanan-makanan yang baik, bergizi lagi sesuai dengan selera dan kondisi yang memakannya, karena ada makanan yang baik buat si A tetapi tidak sesuai buat si B, misalnya karena ia mengidap penyakit tertentu. Demikian juga dengan kadar makanan.

FirmanNya () wa yadha’u ‘anhum ishrahum/meletakkan dari mereka beban-beban mereka menunjuk kepada sekian banyak beban keagamaan yang demikian berat atas Bani Israil yang dimudahkna oleh syari’at Nabi Muhammad saw. Misalnya keharaman sekian jenis makanan, atau mengail di hari Sabtu. Yang paling memberatkan mereka menurut Thahir Ibnu ‘Asyur adalah tidak adanay kesempatan bertaubat bagi pelaku criminal dan lain-lain, yakni seperti kemudahan bertaubat yang diajarkan Nabi Muhammad saw. Taubat yang disyariatkan buat mereka antara lain dengan membunuh diri sendiri.

Kata () wa al-aghlala allati kanat ‘alaihim/dan belenggu-belenggu yang tadinya ada pada mereka. Dahulu bahkan hingga kini, tawanan tau pelaku kejahatan dibelenggu tangannya kelehernya atau paling tidak dengan diikat dengan tangan yang menangkapnya agar dia tidak lari. Kata belenggu-belenggu pada ayat ini menunjuk kepada penderitaan yang dialami oleh orang-orang Yahudi dari umat-umat yang lain, khususnya kehancuran kekuasaan merekan di Bait al-Maqdis. Bahwa belenggu itu dilepaskan berkat Nabi Muhammad saw karena ajaran Islam yang beliau sampaikan mempersamakan semua pemeluk agama walau terhadap lawan sekalipun.

Sungguh ayat ini mengandung berita penting yang sangat agung yang membuktikan bahwa Bani Irail telah mengetahui tentang kedatangan Nabi Muhammad saw. –sejak masa silam- melalui nabi mereka sendiri- Musa as- yakni dalam Taurat bahkan Perjanjian Lama yang hingga kini mereka akui. Kepada mereka disampaikan sifat-sifat beliau yang sangat jelas, risalah yang dibawanya serta keistimewaan yang akan diraih oleh Bani Israil yang percaya kepadanya. Hanya yang tertutup hatinya yang enggan menerima hakikat ini.

Setelah ayat yang lalu menguraikan selayang pandang sifat-sifat Nabi Muhammad saw dan mengisyaratkan kewajiban setiap mukallag mengikuti beliau, baik yang semasa dengan beliau maupun tidak, maka disini apa yang diisyaratkan itu disampaikan dalam redaksi yang tegas, untuk mengingatkan orang-orang Yahudi yang menolak kerasulan Nabi Muhammad saw bahwa penolakan mereka bukan pada tempatnya, apalagi sifat-sifat rasul serta ajaran-ajarannya yang disebut dalam kitab suci mereka, sepenuhnya sama dengan keadaan beliau.

Dapat juga dikatakan bahwa sebelum ayat-ayat berikut melanjutkan uraian tentang Bani Israil, al-Qur’an menggunakan kesemlatan pembicaraan tentang Nabi terakhir yang tercantum dalam Kitab suci yang lalu, untuk berhenti sejenak guna memerintahkan Nabi Muhammad saw agar menyampaikan kepada seluruh manusia hakikat yang baru saja disampaikan kipada Bani Israil itu, dan yang merupakan janji Allah sejak masa silam yakni Katakanlah hai Muhammad :hai seluruh manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu smua baik yang semasa denganku maupun tidak. Allah yang mengutusku itu adalah Dia yang memiliki, menciptakan dan mengatur kerajaan langit dan bumi, tidak ada Tuhan yang menguasai alam raya dan yang berhak disembah selain Dia. Semua tunduk dan taat kepadaNya suka atau tidak suka. Dia Yang menghidupkan, yakni memberi hidup dan mematkan, yakni mencabut kehidupan maka karena itu berimanlah, kepada Allah Yang Maha Esa dan Maha Kuasa itu dan RasulNya yang terakhir, yakni Nabi Muhammad saw Nabi yang ummi yakni yang tidak pandai membaca dan menulis namun mendapat informasi yang pasti dari Allah Yang Maha Mengtahui, dan dia juga adalah Nabi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimatNya kitab-kitabNya, perintah dan tuntunanNya. Semua itu dia amalkan, karena keyakinannya yang kukuh sekaligus sebagai contoh dan teladan buat kamu semua. Karena itu berimanlah kepadanya dan ikutilah dia, dalam system dan cara hidupnya supaya kamu mendapat petunjuk.

Kata () jami’an yang berarti semua dalam firmanNya; ()Hai seluruh manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu semua menunjukan betapa keliru pendapat bagian orientalis yang menduga bahwa Nabi Muhammad saw pada mulanya hanya ingin menjadi menjadi rasul dikalangan masyarakat Mekah, kemudian sedikit demi sedikit –sejalan dengan keberhasilan yang beliau capai- memperluas “ambisinya” sehingga mencakup seluruh manusia. Pendapat ini tidak akan terlintas dalam benak seseorang yang mengetahui bahwa ayat-ayat surah ini turun di Mekah, pada saat belum meraih sukses menghadapi kaumnya sendiri.

Melalui ayat ini terbukti bahwa sejak dini, Allah swt telah memerintahkan beliau untuk menyatakan bahwa beliau adalah utusan Alllah swt untuk manusia seluruhnya tanpa kecuali. Ini sejalan pula dengan pernyataan ayat-ayat lain yang menegaskan bahwa beliau diutus untuk seluruh alam dan bahwa al-Qur’an diturunkan Allah agar menjadi peringatan bagi seluruh alam (baca QS. Al-Furqan (25):1), yang juga turun di mekah sebelum Nabi saw meraih sukses.

Atas dasar itu penggalan ayat ini tidak saja dirujukan kepada sementara orang Yahudi yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw hanya rasul untuk orang-orang Arab sebagaimana keyakinan aliran sekte Yahudi yang pernah bermukim di Asfahan (Iran ) dan yang dikengal dengan sekte al-Isawiyah pengikut ‘Isa al-Asfahani, tetapi dia ditujukan kepada seluruh manusia sejak kehadiran beliau sebagai Nabi dipentas bumi ini sampai hari Kiamat. Bahkan al-Biqa’I berpendapat bahwa kata () an-nas yang ditejemahkan diatas denga manusia, dapat pula mencakup para jin dan malaikat.

firmanNya : () Dia yang memiliki kerajaan langit dan bumi tidak ada Tuhan selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan melukiskan kemahakuasaan Allah atas seluruh alam raya. Dan bila kekuasaanNya sedemikian menyeluruh, maka tidak heran jika Dia pun mengutus seorang rasul yang bertugas menyeluruh menyampaikan ajaran-ajranNya kepada seluruh manusia dan menyebarluaskan rahmat-Nya kesetiap jengkal dan sudut dari alam raya ini. Ini juga merupakan pesan halus kepada Bani Isra’il yang menolak kehadiran Nabi Muahammad saw sebagai nabi dan rasul dengan dalih beliau bukan dari kelompok mereka yang merupakan bangsa pilihan Tuhan dan anak-anak kesayanganNya.

Penutup ayat ini mengandung sekian banyak catatan penting yang perlu diperhatikan.

Pertama, ia mengandung kesaksian tentang keesaan Allah swt, dan Nabi Muhammad saw adalah rasulNya. Kesaksian tersebut ditampilkan dalam satu gambaran yang jelas. Tanpa meyakini gambaran tersebut, tidak sah keimanan, tidak juga keislaman. Gambaran dimaksud adalah perintah beriman yang didahului pengenalan tentang sifat-sifatNya, yaitu Dia yang memiliki kerajaan langit dan bumi, tidak ada Tuhan selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya. Ayat ini melukiskan juga sifat Nabi Muhammad baik pada ayat yang lalu maupun pada penggalan ayat berikut, yaitu Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimatNya.

Kedua, bahwa Nabi yang ummi itu percaya kepada Allah dan kepada kalimat-kalimatNya. Kendati hal ini sesuatu yang demikian jelas, tetapi penekanannya mempunyai makna yang sangat dalam, yaitu setiap da’wah harus terlebih dahulu dipercaya, dipahami secara baik serta diyakini oleh yang menyampaikannya. Bukankah ayat di atas menyatakan Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimatNya.??

Catatan ketiga yang sangat penting merupakan konsekuensi dari perintah beriman kepadaNya adalah ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk. Dengan demikian tiada petunjuk yang diperoleh kecuali dengan mengikuti beliau. Demikian tulis Sayid Quthub. Memang-lanjutnya- agama ini bukan sekedar akidah yang bersemi di dalam hati, bukan juga sekedar syiar-syiar agama atau ibadah ritual, tetapi ikutan secara sempurna kepada Rasulullah saw menyangkut apa yang beliau sampaikan dari Tuhannya dan apa yang beliau syariatkan dan sunnahkan. Beliau menyampikan syariat Allah dengan ucapan dan perbuatan beliau. Agama Islam tidak lain kecuali apa yang digambarkan oleh penggalan terakhir ayat in yaitu: ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk setelah sebelumnya memerintahkan agar beriman kepada Allahl dan RasulNya. Seandainya agama in semata-mata hanya akidah saja, maka tentu cukup sudah bila ayat diatas berhenti pada firmanNya () fa aminu billahi wa rrasulihi/maka berimalah kepada Allah dan RasulNya. Demikian tulis Sayyid Quthub dengan sedikit penyingkatan.

Tafsiran Kitab Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 2, Hal 433-438.

Orang-orang yang mengikuti rasul, nabi yang ummi yang mereka menemukannya tertulis didalam Taurat dan Injil yang ada pada sisi mereka”, ini adalah sifat Muhammad saw yang terdapat dalam kitab-kitab para nabi. Mereka menyampaikan kabar gembira tentang pengutusan Nabi saw kepada umatnya dan menyuruh mereka mengikutinya. Sefat beliau senantiasa ada dalam dalam kitab mereka dan diketahui oleh para ulama dan pendetanya. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abi Shakr al-Uqaili, dia berkata bahwa seorang Badui menceritakan kepadaku, dia berkata, “Aku membawa binatang perahan keMadinah pada masa Rasulullah saw. Setelah aku selesai menjualnya, aku berkata kepada diri sendiri, sungguh aku akan menemui orang ini (Muhammad) dan menyimak keterangannya. Badui itu berkata bahwa aku mendapati beliau berada ditengah-tengah Abu Bakar dan Umar. Mereka tengah berjalan. Kemudian aku mengikutinya hingga mereka tiba pada seorang Yahudi yang tengah membuka Taurat dan membacanya sebagai ungkapan belasungkawa bagi dirinya karena kematian anaknya, yaitu seorang pemuda yang sangat tampan dan baik. Maka Rasulullah saw bersabda, Aku hendak menunjukkan kamu kepada Zat yang menurunkan Taurat. Apakah kamu menemukan sifatku dan asalku dalam kitabmu ini? Yahud itu mengisyaratkan dengan kepalanya yang berarti tidak. Namun anaknya berkata Demi Zat yang menurunkan Taurat, sesungguhnya kami benar-benar menemukan di dalam kitab kami sifatmu dan asalmu. Dan sesungguhnya aku bersaksi bahwa tiada Tuahan melainkan Allah dan bersaksi bahwa engkau rasul Allah. Kemudian beliau bersabda, Galilah orang Yahudi yang menjadi saudaramu itu. Kemudian dia mengurus kafannya dan menshalatinya .” Hadist ini kuat dan memiliki bukti dalam kitab Sahih dari Anas.

Ibnu Jarir mengatakan dari Atha’ bin Yasar, dia berkata bahwa aku bertemu Abdullah bin Amr, lalu aku berkata, “Beritahukanlah kepadaku sifat-sifat Rasulullah saw yang terdapat dalam Taurat.”Abdullah berkata, “Demi Allah, beliau benar-benar disifati di dalam Taurat sebagaimana dia disifati di dalam al-Qur’an dengan, wahai Nabi, sesungguhnya Kami mengutusmu sebagai saksi, pembawa berita, dan pemberi peringatan dan pemelihara bagi orang-orang ummi. Engkau adalah hambaKu, rasulKu, dan namamu tidak mengandung keliaran dan kekerasan hati, dan Allah tidak akan mewafatkannya sebelum dia meluruskan ahama yang bengkok, yang dibuktikan dengan ucapan manusia, “Tidak ada Tuhan melainkan Allah.” Melalui beliau, Allah membuka hati yang lalai, telinga yang tuli, dan mata yang buta. Atha berkata, Kemudian aku menemui Ka’ab, lalu menanyakan penjelasan itu kepadanya. Tiada satu huruf pun dari ucapan Ka’ab yang berbeda dari ucapan Abdullah kecuali bahwa Ka’ab mengatakan dengan redaksinya sendiri, Hati yang tertutup, telinga yang tuli, dan mata yang buta. “Keterangan ini pun diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya dengan tamabahan. Tidak liar, tidak keras hati, tidak berkeluyuran di pasar-pasar, tidak membalas keburukan dengan keburukan, namun dia memaafkan dan membiarkan.”

Ini sifat Rasulullah saw di dalam kitab-kitab terdahulu. Demikianlah perilaku beliau. Dia tidak menyuruh keccuali kepada kebaikan dan tidak melarang kecuali kepada kebaikan dan tidak melarang kecuali dari keburukan, sebagaimana Abdullah bin Mas’ud berkata, “Jika kamu mendengar Allah berfirman, Wahai orang-orang yang beriman, maka siapkanlah pendengaranmu, karena firman itu akan menyuruh kepada kebaikan atau melarang dari keburukan.”

Firman Allah Ta’la, “Yang menghalalkan perkara yang baik-baik dan mengharamkan bagi mereka perkara yang buruk-buruk.”Yakni, dia menghalalkan kepda mereka apa yang mereka haramkan kepada dirnya sendiri berupa ternak bahirah, sa’ibah, washilah, ham, dan makanan lainnya yang merupakan perbuatan mempersulit diri sendiri. Dia mengharamkan kepada mereka makanan yang buruk=-buruk seperti daging babi, riba, dan aneka makanan yang telah diharamkan oleh Allah Ta’la lalu dihalalkan oleh mereka. Sebagian ulama berkata bahwa setiap perkara yang dihalalkan oleh Allah adalah baik dan bermanfaat bagi tubuh dan agama. Dan setiap perkara yang diharamkannya adalah buruk dan membahayakan bagi tubuh dan agama.

Firman Allah Ta’la, “Dan dia melepaskan dari mereka beban-beban dan belenggu yang menghimpit mereka.” Yakni, Nabi saw datang membawa kemudahan dan toleransi, sebagaimana hal ini diriwayatkan melalui jalur periwayatan dari Nabi bahwasanya beliau bersabda:

(بعثتُ بالحنيفية السمحة)

Aku diutus membawa agama yang buta huruf dan toleran”

Dan sabda beliau kepada dua orang gubernurnya, yaitu Muadz dan Abu Musa, yang diutus ke Yaman “Lakukanlah oleh kamu berdua hal yang menyenangkan, bukan yang membuat orang lari, yang mudah, bukan yang susah, dan berbuat taat, bukan menyalahi.”

Di riwayatkan dari Abu Barzah al-Aslami, dia berkata bahwa Rasulullah saw bersabda :

Allah memaafkan apa yang terbetik dalam hati umatku selama mereka tidak mengucapkan atau melakukannya.”

Nabi saw bersabda: “Diangkat dari umatku (tidak dituntut) kesalahan yang tidak disengaja, lupa, dan yang dipaksa melakukannya.”

Oleh karena itu, beliau bersabda “Allah membimbing umat ini supaya mereka mengatakan, "Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah Kami terhadap kaum yang kafir."

Dalam Shahih Muslim ditegaskan “Allah Ta’la berfirman setelah permintaan-permintaan itu, Aku telah memenuhinya, Aku telah memenuhinya.”

Firman Allah Ta’ala, “Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, dan menolongnya,” yakni mengagungkan dan menghormatinya. Firman Allah Ta’ala,”Dan mengikuti cahaya yang diturunkan bersamanya,” yakni al-Qur’an dan Sunnah, mereka itulah orang-orang yang beruntung didunia dan di akhirat.

Allah Ta’ala berfirman kepada Rasul dan NabiNya, yaitu Muhammad saw, Katakanlah hai Muhammad, Wahai manusia Sapaan ini mencakup manusia yang berkulit merah, hitam, putih, orang Arab maupun Asing. Sesungguhnya aku adalah utusan Allah bagi kamu semua. Ini merupakan kemuliaan dan keagungan Nabi saw. Bahwa sesungguhnya dia merupakan penutup seluruh nabi dan bahwasanya dia diutus bagi segenap manusia. Allah Ta’ala berfirman, Dan barangsiapa dia antara golongan-golongan itu yang kafir kepadanya, maka neraka merupakan tempat yang dijanjikan kepadanya. Allah Ta’ala berfirman, Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi al-Kitab, Apakah kamu mau masuk Islam?Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk. Dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan. Ayat-ayat dan hadist yang berkenaan dengan masalah ini terlalu banyak untuk dapat diringkaskan. Hal itu merupakan persoalan Dinul Islam yang sudah dimaklumi kepentingannya bahwasanaya Nabi saw merupakan Rasul Allah bagi segenap manusia.

Muslim meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari ra dari Rasulullah saw beliau bersabda: “Demi Zat yang jiwaku berada dalam kekuasaanNya, tidaklah seseorang di antara umat ini, baik dia beragama Yahudi maupun Nasrani, yang mendengar ihwal aku, namun dia tidak beriman kepadaku melainkan dia masuk neraka. ”

Firman Allah Ta’ala, Zat yang kepunyaan Dialah kerajaan langit dan bumi. Tidak ada Tuhan melainkan Dia. Dia menghidupkan dan mematikan. Penggalan ini merupakan sifat untuk Allah yang terdapat dalam “rasulullah.” Yang mengutusku itu adalah Pencipta segala perkara, Tuhannya, dan Pemiliknya yang di tanganNyalah kekuasaan untuk menghidupkan dan mematikan, serta kepunyaan Nyalah segala hikmah. Firman Allah Ta’ala, Maka berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya, yaitu Nabi yang ummi. Allah memberitahukan kepada mereka bahwa Muhammad merupakan utusan Allah bagi mereka. Dialah yang telah dijanjikan dan diberitakan kepadamu didalam kitab-kitab terdahulu, karena dia disifati dengan sifat-sifat itu di dalam kitab mereka. Oleh karena itu, dia disebut Nabi yang ummi. Firman Allah Ta’ala, Yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimatNya. Yakni yang perbuatannya membenarkan ucapannya. Dia beriman kepada apa yang diturunkan dari Tuhannya. Ikutilah dia, yakni tempulah jalannya dan telusurilah jejaknya, supaya kamu peroleh petunjuk kejalan yang benar.

  1. Surat An-Nahl ayat 103, juz 14

                 

Artinya : Dan Sesungguhnya kami mengetahui bahwa mereka berkata: "Sesungguhnya Al Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)". padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam[xx], sedang Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang.

[xx] Bahasa 'Ajam ialah bahasa selain bahasa Arab dan dapat juga berarti bahasa Arab yang tidak baik, Karena orang yang dituduh mengajar Muhammad itu bukan orang Arab dan Hanya tahu sedikit-sedikit bahasa Arab.

Tafsiran Kitab Al-Qur’an dan Tafsirnya Milik Depag RI. Jilid 5, Hal 462.

Allah swt menjelaskan pada ayat ini bahwa orang-orang musyrikin menuduh Nabi Muhammad saw menerima pelajaran al-Qur’an dari seseorang. Menurut mereka, orang itu seorang alki-laki asing, bukan bangsa Arab, yang selalu mengajarkan kitab-kitab lama ditengah-tengah mereka. Barangkali terjadi setelah Nabi berbicara dengan orang itu. Tetapi tuduhan mereka itu tidak benar. Al-Qur’an tersusun dalam bahasa Arab yang indah dan padat isinya, bagaimana orang asing menciptakannya? Sampai sejauh mana orang yang bukan bangsa Arab Quraisy merasakan keindahan bahasa Arab dan kemudian menyusunkannya kedalam bahasa yang indah dan padat seperti al-Qur’an itu? Apalagi kalau dikatakan orang itu menjadi pengajar Nabi? Mengenai siapa orang asing itu, bermacam-macam riwayat menceritakannya. Ada yang mengatakan bahwa orang asing itu adalah seoang budak Romawi yang bernama Nasrani, yang dipelihara oleh Bani Hadramy. Dari riwayat yang beramacam-macam itu, tidak ada yang dapat jadi pegangan.

Besar kemungkinan tuduhan itu hanya tipu muslihat orang-orang musyrikin yang sengaja dilontarkan kepada Nabi dan kaum Muslimin.

Pemimpin-pemimpin Quraisy yang berdagang ke Syam (Syiria) sedikit banyaknya sudah pernah mendenganr isi Kitab Taurat dan Injil karena hubungan mereka dengan orang-orang Ahli Kitab. Karena al-Qur’an itu memuat isi Taurat, lalu mereka mkengira tentulah ada seorang asing (Ajam) yang bernama Nasrani mengajarkan isi al-Qur’an itu kepada Nabi.

Tafsiran Kitab Al-Misbah karya Quraisy Syihab. Volume 7, Hal 360.

Setelah membantah ucapan kaum musyrikin brkaitan dengan pergantian tuntunan al-Qur’an dengan bantahan yang jelas, kini disebut lagi dalih mereka yang lain, yaitu: Dan sesungguhnya Kami mengetahui secara terus-menerus bahwa mereka, yakni orang-orang yang tidak mempercayai al-Qur’an berkata terus-menerus juga “Sesungguhnya ia , yakni al-Qur’an itu diajarakan kepadanya, yakni kepada Nabi Muhammad oleh seorang manusia, yakni seorang pemuda Romawi atau Persia, bukan malaikat yang datang menurunkannya. ” Tuduhan mereka itu sungguh tidak benar. Bagaiman bisa benar, bahasa orang yang mereka condong, yakni menuduh secara gbatil bahwa Nabi Muhammad belajar kepadanya adalah bahasa ‘Ajam, yakni bukan bahasa Arab, sedang ini, yakni al-Qur’an adalah dalam dalam Arab yang terang dan mencapai puncak tertinggi dari keindahan dan kedalaman makna yang tidak mampu ditandingi oleh siapa pun walau sastrawan-sastrawan Arab bekerja sama untuk menandinginya.

Tidak ada factor yang menjadikan mereka berkata demikian, kecuali kebejatan hati dan kekeraskepalaan mereka, dan karena itu mereka tidak mempercayainya. Ini tidak usah engkau risaukan, karena demikian itulah sunnatullah, yakni sesungguhnya orang-orang yang tidak mau beriman kepada ayat-ayat Allah, yaitu al-Qur’an dan tanda-tanda kebesaranNya yang terhampar di alam raya, tidak akan diberi petunjuk bagi mereka oleh Allah, yakni tidak diberi kemampuan untuk meraih iman dan mengamalkan tuntunanNya, sesuai dengan kemauan dan pilihan mereka itu dank arena Allah tealh menjelaskan dengan gamblang dan menganugerahkan mereka potensi iman, serta mengutus rasul dengan aneka bukti kebenaran tetapi mereka mengabaikannya maka bagi mereka azab yang pedih jika mereka enggan bertaubat.

Selanjutnya ayat ini membuktikan lebih jauh kemustahilan Nabi Muhammad saw berbohong. Betapa beliau berbohong dan mengada-ada, padahal sesungguhnya yang berani mengada-ada kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman atau tidak terus-menerus memperbaharui imannya kepada Allah dan ayat-ayat Allah, dan itulah yang sungguh jauh dari rahmat Allah adalah mereka secara khusus para pembohong-pembohong sejati. Bukan engkau yang berbohong, jwahai Nabi Muhammad dan bukan juga kaum mukminin.

Ayat di atas menggunakan bentuk kata kerja masa kini ketika berbicara tentang pengetahuan Allah () na’lamu/Kami mengetahui. Demikian juga ucapan kaum muyrikin menuduh al-Qur’an sebagai pengajaran orang lain kepada Nabi Muhammad saw () yu’allimuhu. Ini mengisyaratkan bahwa tuduhan seperti itu akan terus berlanjut. Dahulu kaum musyrikin menuduh bahwa Nabi Muhammad saw diajar oleh seorang hamba sahaya dari Romawi bernama Jabar. Dikali lain mereka memfitnah dengan menunjuk Salman al-Farisi yang berasal dari Persia. Jauh sesudah Nabi saw pun tuduhan serupa masih terdenganr. Sayyid Quttub menulis bahwa kaum atheis di Rusia dalam pertemuan para orientalis pada tahun 1954 mengakui bahwa al-Qur’an tidak mungkin merupakan hasil karya seorang manusia, tetapi merupakan hasil karya banyak orang, dan bahwa apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw itu tidak mkungkin kesemuanya ditulis di Jazirah Arab. Beberapa bagian di antaranya ditulis di luar Jazirah Arab. Demikian, walau mereka secara sadar mengakui keistimewaan al-Qur’an, tetapi mereka enggan berkata bahwa apa yang disampaikan Nabi Muhammad saw itu adalah firman Allah. Mereka masih tetap berkata bahwa itu adlah buatan manusia dan bukan hanya buatan Nabi Muyhammad saw sendiri, tetapi sebagiannya diajarkan oleh orang lain. Ini serupa dengan ucapan kaum musyrikin Jahiliah yang lalu.

Pengakuan itu tidak lain kecuali karena mereka menemukan kandungan al-Qur’an sedemikian mengagumkan, sehingga lahir penilaian demikian. Penggunaan kata Kami mengetahui bukan Allah atau Aku Tuhan mengetahui, agaknya mengisyaratkan bahwa tuduhan semacam itu walau mereka rahasiakan untuk kepentingan menghalangi orang lain mempercayai al-Qur’an, tetapi itu diketahui Allah dan diketahui pula oleh sekelompok kaum muslimin yang kemudian harus ampil membuktikan kebohongan mereka.

Ayat ini tidak menjelaskan siapa yang mereka duga mengajarkan al-Qur’an kepada Nabi, tetapi sekadar menyatakan bahwa dia adalah seorang manusia. Tidak disebutnya nama yang bersangkutan, bukan saja karena telah merupakan kebiasaan al-Qur’an tidak menyebut nama, tetapi juga untuk menampung semua manusia yang diduga oleh siapa pun telah mengajarkan al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw seandainya nama yang bersangkutan disebut, maka boleh jadi akan ada yang berkata “memang bukan si A itu yang mengajarnya, tetapi si B atau C.”

Kata () yulhidu/menyimpang terambil dari kata () lahada-yalhadu yang mengandung makna condong, atau menyimpang dari arah tengah kesamping. Kuburang dinamai () lahd/liang lahat karena tanah penguburan itu setelah digali kebawah, digali lagi menyimpang dan condong kesamping lalu jenazah diletakan dibagian samping itu. Makna asal kata tersebut berkembang sehingga berarti bathil atau menyimpang dari kebenaran.

Kata () a’jamy terambil dari kata () ‘ujmah dalam aarti tidak jelas. Bahasa Arab menunjuk kepada siapa yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab sebagai bahasa a’jamy karena orang Arab tidak memahami bahasa mereka, atau karena mereka tidak dapat menjelaskan maksud mereka dalam bahasa yang dimengerti oleh orang Arab. Ada juga yang memahami kata tersebut dalam arti yang tidak fasih, walau dapat berbahasa Arab.

Kata () hum/mereka pada penutup ayat di atas, setelah kata () ula’ika/itulah berfungsi mengkhususkan mereka itu sebagai pembohong-pembohong sejati. Seakan-akan ayat ini menyatakan bahwa tidak ada pembohong sejati kecuali mereka. Memang ada pembohong selain mereka, tetapi kedurhakaan akibat tuduhan yahng sangat buruk itu telah mencapai puncaknya sehingga seakan-akan kedurhakaan pembohong –pembohong yang tidak berarti dibandingkan dengan mereka, dan dengan demikian merekalah yang secara khusus merupakan pembohong-pembohong sejati.

Tafsiran Kitab Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jilid 2, Hal 1066.

Allah Ta’ala menceritakan ihwal kaum musyrikin, yaitu ihwal kebohongan dan dusta yang mereka ada-adakan. Kebohongan itu adalah bahwa seseorang telah mengajarkan al-Qura’an pada Muhammad saw. Mereka menunjuk orang asing yang ada dikalangan mereka, yang tidak memahami bahasa Arab kecuali sedikit, sekedar untuk menjawab sapaan yang mesti ditanggapi.

Karena itu, Allah membantah mereka dengan firmanNya “Padahal bahasa yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa asing, sedang al-Qur’an adalah dalam bahasa Arab yang terang.” Jadi, bagaimana mungkin orang yang menampilkan al-Qur’an dengan kebakuan, kebalagahan, dan maknanya yang sempurna itu belajar dari orang asing yang nyaris tidak menguasai bahasa Arab sedikitpun? Tuduhan demikian hanyalah dilontarkan oleh orang gila (kurang waras). Jadi al-Qur’an adalah wahyu Allah sebagai mu’jizat terbesar Nabi saw dan pembukti kenabian Muhammad saw, yang berbahasa Arab yang jelas sedangkan Nabi ummi dan tidak mungkin untuk berbohong akan wahyuNya. Selanjutnya Allah Ta’ala menerangkan bahwa Rasulullah saw bukanlah orang yang mengada-ada dan bukan pula pembual, sebab yang menciptakan kebohongan dan menyandarkannya pada Allah dan RasulNya hanyalah makhluk-makhluk yang jahat, yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dari kalangan kaum kafir dan ateis yang terkenal pembual bagi masyarakat. Sedangkan Rasulullah saw, merupakan manusia paling jujur, paling baik, dan paling sempurna ilmunya, amalnya, keimanannya, dan keyakinannya serta terkenal jujur dimasyarakat. Dikalangan mereka, dia digelari al-Amin. Karena itu, tatkala Heraklius, Raja Romawi, bertanya kepada Abu Sofyan mengenai aneka persoalan yang bertalian dengan sifat Rasulullah saw, maka diantara pertanyaannya ialah “Apakah kalian pernah menuduhnya berdusta sebelum dia mengatakan sesuatu?” Abu Sufyan menjawab “Tidak” Maka Heraklius berkata “Jika kepada manusia saja dia tidak pernah berdusta, apalagi terhadap Allah azza wajalla.”














Referensi Kitab-Kitab Tafsir

  • Muhammad Nasib Ar-Rifa’I, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Taisiru al-‘Aliyyu al-Qodiru li ikhtisori tafsiri Ibnu Katsir. Jakarta: Gema Insani Press, 1999 Cet ke-2.

  • Syahid Sayyid Quttub, Tafsir Fi zhilalil Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press 2001, Cet ke-1.

  • Syaikh Abdurahman bin Nashir As-Sa’di, Tafsir As-Sa’di, Riyadh: Dar al-Ashimah 1999 dan Jakarta: Pustaka Sahifa 2007,

  • Prof. H. Bustami A. Gani, dkk.., Al-Qur’an dan Tafsirnya (Milik Depag RI), Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa (Milik Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia).

  • Prof. M. Qurisy Shihab, Tafsir Al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002. Cet ke-10

  • Prof. Dr. H. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: PT. Pustaka Panji Mas, 1982.